Kenapa Muhammadiyyah selalu beda dengan NU?
Ini jawabannya...
MENGUAK RAHASIA MUHAMMADIYAH SELALU NAMPAK BEDA DENGAN NAHDLATUL ULAMA (NU)
KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut
ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli hadits dan sama-sama ahli
fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan
menyebarkan Islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.
Kiai
Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal
dari Kuto Ngayogyokarto. Sementara Kiai Hasyim memilih pendidikan
pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat,
ikhlas dan mulia.
Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini
dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai
Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan Kiai Hasyim mendirikan
Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang
diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama
sekali tidak mengganggu. Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara
lain:
1. Shalat Tarawih sama-sama 20 rakaat. Kiai Ahmad Dahlan
sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat Tarawih 20 rakaat di Masjid
Syuhada Yogya.
2. Talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan.
3. Baca doa Qunut Shubuh.
4. Sama-sama gemar membaca shalawat (Diba’an).
5. Dua kali khutbah dalam shalat Ied, Iedul Fithri dan Iedul Adha.
6. Tiga kali takbir, “Allah Akbar”, dalam takbiran.
7. Kalimat iqamah (qad qamat ash-shalat) diulang dua kali.
8. Dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai
rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi
mana yang benar dan mana yang salah.
Semua amaliah tersebut di
atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis
dalam kitab Fiqih Muhammadiyah yang terdiri dari 3 jilid, yang
diterbitkan oleh: Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun
1343-an H.
Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di
sinilah mulai ada penataan praktek ibadah yang rupanya “harus beda”
dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis
berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalail
(dalil-dalil), nanti difikir bareng dan dicari-carikan.
Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena
keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah tesis
yang meneliti hadits-hadits yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih
Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.
Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah: bahwa
mayoritas hadits-hadits yang dipakai hujjah Majlis Tarjih adalah
dha’if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid
versi Ibn Ma’in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis
dha’if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai
dasar amaliah berfadhilah atau fadhail al-a’mal. Tahun 1995an, Penulis
masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Soal dalil yang dicari-carikan kemudian
tentu berefek pada perubahan praktek ibadah di masyarakat, kalau tidak
disebut sebagai membingungkan.
Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih 8 plus 3 witir, bagaimana prakteknya?
Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi: 4, 4, 3. Empat rakaat satu
salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk Tarawih. Dan tiga rakaat untuk
Witir. Model Witir tiga sekaligus ini versi madzhab Hanafi. Sementara
wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu Witir. Ini versi
asy-Syafi’i.
Tapi pada tahun 1987, praktek shalat Tarawih
empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH.
Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di Masjid al-Falah Surabaya. Beliau
tampilkan hadits dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena,
kualitas hadits Muslim lebih shahih ketimbang hadits empat-empat, maka
semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan
Majlis Tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushalla di lingkungan
Muhammadiyah, bahwa praktik shalat Tarawih pakai komposisi dua-dua,
hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada
empat-empat. Inilah fakta sejarah.
Kini soal itsbat hilal pakai
rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi dan jangan dibantah
kecuali ada bukti kuat. Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah
pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan
hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi. Hal itu
berlangsung hingga era orde baru pimpinan Pak Harto. Karena orang-orang
Muhammdiyah menguasai Departemen Agama, maka tetap bertahan pada rukyah
derajat tinggi, tiga derajat ke atas dan sama sekali menolak hilal dua
derajat. Dan inilah yang selalu dipakai pemerintah. Sementara ahli falak
Nadhliyyin juga sama menggunakan rukyah tapi menerima dua derajat
sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil mereka sama, pakai hadits rukyah dan
ikmal.
Oleh karena itu, tahun 90-an, tiga kali berturut-turut
orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa
dirukyah, sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena
standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal.
Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah,
tapi tidak diterima oleh Departemen Agama, meski pengadilan setempat
sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta.
Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.
Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang
Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan
publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi,
sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran
belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah
cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal.
Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi.
Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU.
Lalu
membuat metode “wujud al-hilal”. Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu
hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya,
nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka
tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi tim rukyah yang diback
up pemerintah. Hadits yang dulu dielu-elukan, ayat al-Quran berisikan
seruan “taat kepada Allah, RasulNya dan Ulil Amri” dibuang dan alergi
didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera.
Populerkah metode “wujud al-hilal” dalam tradisi keilmuwan falak? Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupun sekarang.
Di sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu,
Muhammadiyah hilal harus derajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana
pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang
derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik
lebih tajam, yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya.
Sementara NU tetap pada standar rukyah, meski derajat dua atau kurang
sedikit. Tentu saja beda lagi dengan NU. Maka, selamanya takkan bisa
disatukan, karena sengaja harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.
Dilihat dari fakta sejarah, pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya
siapa yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa
biang persoalan di kalangan umat?
Menyikapi lebaran dua versi,
warga Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa
diombang-ambingkan dengan perubahan pemikiran pimpinannya. Persoalannya,
apakah sikap, ulah atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain?
Perkara dalil nash atau logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu’
atau teropong modern sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu
dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.
Hebatnya, semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya
kritis-kritis itu bungkam dan tunduk semua kepada keputusan Majlis
Tarjih. Tidak ada yang mengkritik, padahal kelemahan akademik pasti ada.
(Diedit ulang dari tulisan Ustadz Sulaiman Timun Mas).